:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2803727/original/090972500_1557725608-WhatsApp_Image_2019-05-13_at_12.22.03.jpeg)
Liputan6.com, Jakarta - Kesan pertama menonton Down Swan, ini film tentang anak berkebutuhan khusus dari sudut pandang yang lebih optimistis. Sebelum Down Swan, banyak film tentang anak (maaf) penyakitan atau memiliki kekurangan fisik yang ditempatkan sebagai korban. Hidupnya digambarkan merana, kerap dizalimi orang-orang di sekitarnya, ditinggal mati orang tua, dan setumpuk derita lain yang diharapkan menguras air mata penonton.
Ibaratnya, anak penyakitan atau punya kekurangan fisik ini sudah jatuh, tertimpa tangga, digigit anjing, dituding maling pula oleh tetangga. Down Swan mencoba untuk tidak terjebak pada klise semacam ini. Pengidap sindrom Down justru dijadikan sumber semangat dan simbol harapan yang tak mau padam.
Cerita Down Swan dimulai dengan kebahagiaan Bisma (Ariyo) dan Mitha (Putri) yang baru saja menikah. Bisma meniti karier sebagai jurnalis, sementara Mitha yang dulu balerina menjadi ibu rumah tangga. Suatu hari, Mitha yang berbadan dua, harus dihadapkan pada kenyataan pahit. Dokter mengabari janin yang dikandungnya mengidap sindrom Down. Mitha yang terpukul, mempertanyakan apa salahnya hingga Tuhan mendatangkan sindrom Down.
Mitha menamai putrinya Nadia (Arina). Sejak Nadia lahir, Mitha bersikap tertutup, membatasi interaksi dengan putrinya. Bisma mencoba bersabar dan telaten merawat Nadia. Sembilan tahun berlalu, Nadia yang sedang makan donat menjatuhkan wadah cupcake hingga tepung di dalamnya berhamburan di meja. “Maaf, Ibu,” ucap Nadia terbata-bata. Itulah kali pertama Nadia memanggil Mitha ibu. Hari itu, hati Mitha tersentuh.
https://www.liputan6.com/showbiz/read/3973694/down-swan-saatnya-anak-sindrom-jadi-penyemangat-bukan-bahan-bullyBagikan Berita Ini
0 Response to "Down Swan: Saatnya Anak Sindrom Jadi Penyemangat, Bukan Bahan Bully"
Post a Comment